Wednesday, September 19, 2007

Dakwah dan Sabar

Bismillahirrahmannirrahiim

Berawal dari perbincangan panjang dengan suami tercinta tentang obrolannya dengan seorang teman. Sampai akhirnya saya tertidur dengan banyak pertanyaan dan jawaban yang saya simpulkan sendiri.

Nah, pagi tadi, teringat materi blognya pak eman. Katanya saat ada ide yang mau ditulis, maka langsung tulis, apapun. Maka jadilah tulisan ini pagi tadi.:P
Asal dan tak terstruktur, tapi semoga ada manfaatnya, paling tidak bagi saya pribadi. Karena apa yang saya tulis adalah pergumulan batin dalam diri, karena ketidaksempurnaan yg saya miliki. Ya, intinya ini adalah cara saya melecut diri saya sendiri.
Mengapa saya tulis, karena saya tipe yang tdk setia ingatannya, sehingga dengan ditulis, bisa saya buka, kapanpun ruhani saya membutuhkannya.

Tentunya isinya mungkin masih banyak yg harus dibenerin, maklumlah yang nulis ilmunya sedikit :)
Sekali lagi hanya ingin berbagi, meski awalnya khawatir salah, tapi kalo khawatir terus, kapan mulainya...:)

Jika ada kata2 yang kurang berkenan dan seperti menggurui, mohon maaf ya, tidak ada maksud sedikit pun, karena sesungguhnya tulisan ini saya tujukan buat diri saya pribadi.

================================================================

Sabar adalah kata yang mudah diucapkan namun sangat sulit untuk diaplikasikan. Bagaimana tidak, untuk menjadi orang yang sabar, diperlukan keahlian khusus dalam mengontrol dan memanage diri. Namun tentu saja potensi untuk menjadi orang yang sabar ada dalam diri tiap hamba Allah. Karena Allah SWT telah berfirman bahwa dalam diri umatnya telah disebarnya semua sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk. Tinggal manusianya saja yang akan memilih, akan mengembangkan sifat yang baik atau yang buruk.

Allah maha adil. Tidak ada seorang hamba pun di dunia ini yang terlahir hanya memiliki sifat buruk. Sifat mana yang akan menonjol ditentukan dari ketekunan seorang hamba mengasah dan menggali potensi sifat-sifat baik yang ada di dalam dirinya.

Lihatlah sang teladan kita, Rasul kesayangan Allah, Muhammad SAW, bagaimana setiap kisah dalam Hadist menggambarkan kesabaran yang luar biasa dari seorang hamba yang menjadi utusan dan kekasih Illahi. Bagaimana Nabi besar kita ini mampu menarik hati orang-orang yang sebelumnya kafir menjadi beriman dengan segala sifat baik yang terpancar dalam setiap gerak maupun tutur katanya. Termasuk sifat sabar.

Kita mungkin pernah mendengar suatu kisah dimana Nabi pernah disakiti bahkan diludahi, namun Nabi tidak pernah membalas semua perbuatan itu dengan perbuatan kasar yang sama. Justru pada saat orang yang menyakitinya sakit, Nabi adalah orang pertama yang menjengguknya. Begitulah Nabi Muhammad, dengan segala kelebihan yang memang diberikan Allah kepadanya untuk menjadikannya teladan bagi umat yang lain. Nabi tidak hanya menyebarkan agama Allah pada orang-orang yang memang sudah punya watak yang baik sehingga mudah untuk diajak masuk Islam, namun Nabi juga mengajak orang-orang golongan preman dengan cara-cara pendekatan yang sungguh luar biasa. Keteladanan sifat Nabi inilah yang akhirnya meruntuhkan dan mencairkan gunung es dalam hati orang-orang kafir untuk bergabung bersama dengan Nabi merasakan indahnya agama Allah.

Bagitulah dakwahnya Nabi, penuh dengan keteladanan. Dan berkat usaha yag sedemikian hebat, mayoritas penduduk dunia adalah beragama Islam. Dan tentunya pada masa kini pun, menjalankan dakwah seharusnya berpegang erat pada sifat-sifat yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Karena cara yang ditempuh oleh Rasul telah terbukti keampuhannya.

Menjadi seorang pen-dahwah (da’i maupun dai’ah) tentunya tidak gampang. Karena kisah Rasulullah pun telah menunjukkan betapa sulitnya berdakwah. Cobaan, rintangan, onak dan duri pasti ada dalam menapaki jalan lurus jihad yang bernama dakwah demi melestarikan agama yang suci ini, tentunya dengan mengharap ridho dari Illahi Rabbi. Tentu saja cobaannya tidak semua sama dengan apa yang dulu di hadapi oleh Rasulullah. Karena dulu Rasul memulainya dari zero, meyakinkan umat akan kebenaran ajaran yang disampaikannya. Sementara sekarang, bisa dibilang seorang pendakwah tidak harus memulai dari zero, karena banyak umat manusia sudah mengenal dan memilih Islam sebagai agamanya. Tinggal bagaimana membuat umat muslim dan muslimah mampu menjalankan nilai ajaran-ajaran Islam dengan sebaik-baiknya , sehingga tercermin dalam sikap hidupnya.

Walau demikian, saya yakin bahwa walau cobaannya berbeda, namun cara Rasulullah tetap adalah cara yang paling ampuh dan tepat untuk menghadapinya. Memang kita bukan Nabi atau Rasul, yang memang dipilih oleh Allah untuk menjadi teladan bagi yang lain, tapi sekali lagi, potensi baik yang dimiliki Rasulullah pun sama diberikan oleh Allah kepada kita semua. Jadi, seharusnya mencari alasan untuk tidak mengikuti cara Rasul karena kita adalah manusia biasa, rasanya tidak berdasar.

Dalam berdakwah, bisa jadi kita adalah tipe pemilih. Maksudnya, kita kadang hanya mau berdakwah pada orang-orang yang menurut kita mudah dan mau untuk diajak. Sementara, jika ada orang-orang yang tipenya keras kepala dan sulit untuk diberi pengertian, maka kita akan merasa tidak perlu untuk menariknya ikut dalam melakukan kebajikan. Padahal, jika saja Rasul melakukan hal yang sama, rasanya tidak mungkin dunia ini akan penuh dengan muslim dan muslimah J

Pernah dengar kisah tentang seseorang yang sangat alim, namun dianggap tidak lulus ujian karena menghardik dan merendahkan seorang wanita penghibur? Saya sendiri tidak begitu ingat cerita sebenarnya, tapi kira-kira begini ceritanya : ada seorang lelaki yang sangat alim, dia benar – benar bertingkah laku sebagaimana orang yang taat pada Allah. Suatu hari ada seorang nenek yang ingin menguji iman lelaki ini. Maka sang nenek mengutus seorang wanita penghibur untuk menggodanya. Begitu si wanita mendekat, maka murka lah si lelaki dengan mengucapkan sumpah serapah pada si wanita. Dan di sinilah oleh sang nenek, si lelaki dianggap tidak lulus ujian. Mengapa? Karena, seharusnyalah sebagai seorang yang alim, dia tidak seharusnya menghardik dan menyumpah seorang wanita penghibur, yang notabene memang adalah orang-orang yang tidak berada dijalan yang lurus. Justru seharusnya, ia menjadi jalan bagi si wanita untuk menjadi orang baik-baik. Seharusnya ia “merangkul” si wanita tadi agar menyadari kesalahannya, bukan justru semakin membuat si wanita tidak ingin berada dalam kebenaran, karena menyaksikan tingkah seorang alim yang demikian.

Kasus yang mirip – mirip seperti ini pun mungkin banyak terjadi di sekeliling kita. Saya sendiri pernah mengajak seseorang untuk ikut dalam sebuah liqo’, namun ditolak mentah-mentah. Katanya, untuk apa dia ikut liqo’, lihat aja tuh orang-orang yang ikut liqo’ tetep aja gak bener. Dan ada lagi, saya pernah baca diblog seorang teman, yang temannya sampai saat ini pun masih menganggap bahwa orang-orang pengajian banyak yang munafik, sehingga dia tidak ingin masuk di dalam komunitas tersebut. Astaghfirullah. Tapi saya pribadi tidak menyalahkan mereka sepenuhnya, bahkan bisa jadi saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan, karena sejujurnya, sedikit banyak saya pun pernah merasakan hal yang sama. Mungkin hal yang sama pun terjadi pada anda.

Namun, syukur Alhamdulillah, kata-kata seorang teman benar-benar menjadi penyejuk dalam hati saya yang pernah kering. Katanya “Jangan sampai kekecewaan kita pada manusia, menghalangi kita dari mencari ilmu Allah”. Subhanallah, sungguh kata-kata yang bijak.

Lama sempat saya merenungi kata-kata tersebut. Sampai akhirnya saya berkesimpulan, bahwa kita semua adalah manusia, dengan potensi baik dan potensi buruk. Bahwa iman seseorang juga sangat fluktuatif, kadang tinggi dan kadang rendah. Nah, bukankah seorang pendakwah juga adalah manusia biasa, yang juga bisa berbuat kesalahan, sama seperti diri kita sendiri? Mereka kan bukan malaikat, yang tidak mungkin melakukan kesalahan. Maka adalah hal yang sangat wajar, jika suatu kali kita melihat mereka melakukan “kesalahan”. Dan lagi saya menyadari (dari pengalaman pribadi J) bahwa mengikuti liqo’ atau apapun namanya, tidak menjamin seseorang menjadi orang yang takwa. Mengikuti liqo’ pasti menambah ilmu, tapi mungkin taat dan takwa belum tentu, tergantung aplikasi dari ilmu yang didapat. Dan bukankah yang kita cari itu adalah ilmu Allah. Berarti setiap kita mendengar ceramah ustadz sekaliber AA Gym sekalipun, seharusnya ilmu Allah yag disampaikannyalah yang kita kagumi, bukan AA gym nya. Sehingga, jika suatu saat kita merasa Aa Gym melanggar nilai-nilai yang pernah dia katakan, kita tidak akan kecewa berat. Karena kita tau, nilai – nilai yang diajarkan adalah ilmu Allah, yang tidak akan ternoda sedikitpun hanya karena penyampainya melakukan kesalahan. Berguru ilmu kan bisa kepada siapa saja. Ambil ilmu yang baik dan benar, buang hal-hal jeleknya.

Tapi memang tetap saja, bahwa seharusnya seorang pendakwah sekuat mungkin berusaha menanamkan nilai-nilai yang disebarnya kepada orang lain kepada dirinya sendiri. Memang sangat sulit ya, coz easy to say, but difficult to do. Tapi emang harus kali ya. Soalnya menjadi penceramah ada 2 pilihan, pilihan pertama hanya didengar dan dikagumi, pilihan kedua didengar, dikagumi dan diikuti. Tentu saja seorang pendakwah sejati seharusnya mempunyai tujuan dengan pilihan kedua yang otomatis mendorong dirinya untuk mampu menjadi teladan bagi orang lain.

Sekedar contoh, bagaimana orang-orang pada mau mengikuti ajakan kita, kalo pas ketemuan di jalan kita tidak pernah menunjukkan sifat-sifat yag baik, yang paling mudah deh, senyum atau sekedar meng-klakson misalnya. Percaya gak, bahwa hal-hal kecil seperti itu pun akan mempengaruhi penilaian orang terhadap orang lain. Ya, kalau niat kita ingin berdakwah, berarti harus mampu merangkul orang-orang yang menjadi sasaran dakwah kita kan. Kalau mereka menilai kita alim tapi sombong setengah mati, apa menurut kita, secara logis aja, mereka mau mengikuti ajakan kita? Ini mungkin yang menjadi salah satu penyebab ketidakberhasilan kita merangkul orang lain. Hal sepele yang bisa berakibat sangat besar. Ini menunjukkan bahwa dalam berdakwah bukan ilmu saja yang harus dimiliki, melainkan juga “ilmu” sosial alias bagaimana beradaptasi dan berhubungan dengan lingkungan sekitar kita.

Kadang memang, ilmu yang lebih dari orang lain bisa menimbulkan rasa riya dalam diri. (Astaghfirullah). Dari yang pernah di sampaikan, bahwa riya itu bukan hanya yang tampak (perkataan or perbuatan) tapi sampai yang hanya terbersit dalam hati. Digambarkan bahwa riya itu seperti semut hitam di batu hitam di malam yang gelap, sangat tersembunyi. Rasa riya ini yang kadang juga menjadikan kita tinggi hati, merasa harusnya orang yang menegur dan berguru kepada kita. Padahal Rasulullah tidak pernah mencontohkan berdakwah dengan cara demikian.

Kembali mengenai sabar, Rasulullah juga mengutamakan sifat sabar dalam berdakwah. Tidak ada dalam catatan sejarah tinta emas perjuangan Rasulullah dalam berdakwah yang tercoreng dengan ketidaksabaran. Padahal bani israil begitu hebatnya dalam bersilat lidah untuk mencari-cari kesalahan Rasulullah, tapi Rasulullah tetap dengan sabar menunjukkan bukti-bukti kebenaran ajaran Allah. Begitu juga pada masa sekarang, pasti ada orang-orang yang tidak mudah untuk dipengaruhi dan keras kepala (àseperti saya L) dan mungkin itu salah satu tantangan seorang pendakwah, untuk selalu menaburkan kesabaran dalam usahanya merangkul dan mengajak orang lain untuk melakukan kebajikan. Bukan dengan menjauhi mereka. Kata pepatah, api tidak bisa dilawan dengan api, malah akan memperbesar kobarannya. Namun api harus dilawan dengan air, sehingga panasnya akan padam oleh dinginnya air.

So…teman-teman pendakwah, semoga mampu menjadi teladan bagi yang lain, sehingga bisa merangkul lebih banyak orang dengan lebih banyak karakter, sehingga Islam semakin jaya. Memang hampir tidak mungkin menyamai Rasulullah, tapi setiap kita diberikan kemampuan untuk bisa mengusahakan yang terbaik yang kita punya untuk menuju kearah keteladanan sang Rasul, Insya Allah. Saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran…….Love u, sist……


Mari saling mendoakan agar sama2 menjadi lebih baik
Rumbai, 20 September 2007

No comments: